[ Sabtu, 28 Agustus 2010 ]
Anti-Malaysia di Indonesia
Hari-hari ini masyarakat kembali marah kepada Malaysia. Demonstrasi pun kembali muncul dan kali ini lebih brutal. Mereka menginjak bendera Malaysia dan melempari Kedubes dengan kotoran. Masyarakat juga menyalahkan pemerintah yang lambat dalam menangani masalah itu dan tidak menunjukkan wibawa sama sekali sehingga diremehkan.
Hubungan yang baik -apalagi sesama rumpun, satu keluarga, dan satu sejarah- adalah hubungan yang saling menghormati, mengikuti aturan, mengerti, dan membangun dalam berbagai bidang. Namun, kini masyarakat -mulai pelajar, mahasiswa, sampai khalayak umum- tidak lagi mengerti hal tersebut. Mereka hanya ingin melibas Malaysia, mereka makin mengerti bahwa konfrontasi seperti yang dilakukan Soekarno adalah penting.
Itu menyedihkan. Sepuluh tahun lalu semuanya masih menyenangkan. Malaysia sering dilihat sebagai tempat orang Melayu asli yang tradisional dan ramah. Lagu-lagunya mengingatkan senandung orang-orang di Sumatera. Malaysia dirindukan karena mewarisi tradisi Melayu yang kental. Sementara itu, di Indonesia tradisi tersebut makin terkikis dan melebur ke dalam budaya nasional.
Mungkin dulu juga ada banyak masalah, tetapi semuanya terkendali. Sudah banyak penangkapan dan perlakuan buruk terhadap para pekerja pada zaman PM Mahathir Mohamad. Berbagai operasi sudah dilakukan. Mereka yang mulanya dibiarkan -termasuk yang ilegal karena secara politik tidak penting lagi- mulai ditertibkan. Penertiban itu susah dilakukan tidak saja karena mereka ilegal, tapi juga mereka dianggap membawa penyakit sosial di masyarakat. Karena itu, kemudian tercipta istilah indon yang selalu diasosiasikan dengan prilaku asosial.
Saat itu tidak ada yang protes karena kuatnya kontrol pemerintah dan hubungan government to government (G to G) yang kukuh. Pemerintah dapat menetralkan masyarakat dan media. Saat ini berbeda. Peran media menjadi sangat besar. Mereka jugalah yang secara tidak langsung menghangatkan suasana. Hampir semua laporan media sekarang negatif jika berkaitan dengan Malaysia.
Seperti dalam kasus terakhir, tiga anggota DKP itu menjadi terkenal karena media mengejar mereka dan menanyakan detail kejadian yang dialami. Walaupun mungkin itu perlakuan standar terhadap tahanan, tetap saja ada hal yang dianggap tidak wajar oleh media. Bagi masyarakat yang emosi, sedikit saja laporan perlakuan yang kurang berkenan sudah cukup untuk menjustifikasi kemarahan mereka. Masyarakat dan anggota DPR yang memang susah kalau membela rakyat miskin yang banyak atau mengatasi korupsi tampil ke depan, mereka membela tiga orang yang sempat diborgol itu.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini citra Malaysia pun jatuh di mata rakyat Indonesia walaupun berbagai kerja sama dibuat dan jutaan TKI mencari nafkah di sana. Namun, itu semua tidak signifikan. Kalau ada survei tentang negara yang paling dibenci Indonesia, sangat mungkin Malaysia ditempatkan di peringkat pertama.
Sebelum ini, mungkin tidak ada negara yang dibenci separah ini oleh bangsa Indonesia. Belanda mungkin dibenci karena menjajah, tetapi rakyat tetap senang mendukung kesebelasan Belanda yang bertanding dalam Piala Dunia. Kini, karena Jepang membantu pembangunan, orang lupa betapa kejamnya romusa. Tiongkok juga mungkin dibenci karena dikaitkan dengan komunis, tetapi sekarang terdapat hubungan dagang yang baik dengan negara itu. Sebenci-bencinya, masyarakat dalam sejarah tidak pernah melempari kedutaan besar negara-negara itu dengan kotoran.
***
Jadi, apakah yang sudah dicapai dan diinginkan dari mobilisasi anti-Malaysia sekarang? Toh di Malaysia sendiri, orang sana sepi-sepi saja, tidak ada reaksi berarti, tidak tahu, dan tidak mau tahu kecuali beberapa orang yang menyayangkan mengapa sampai najis dilempar ke Kedubes Malaysia. Yang responsif itu pun susah melihatnya langsung karena demo dan media dibatasi. Tapi, mungkin menarik bila melihat pandangan mereka lewat respons online di internet terhadap kasus terakhir.
Dalam situs berita online seperti juga di Indonesia yang memungkinkan orang memberikan komentar, tanggapan mereka datar, lucu, dan seperti mengerti yang terjadi dan akan terjadi. Misalnya, walaupun ditampilkan foto bendera mereka diinjak-injak dan kantor kedubes dilempari kotoran, sebuah komentar mengatakan, "Tak apalah... Orang Indonesia ni sebenarnya memburukkan nama baik mereka... Sebab tu, kita di Malaysia hanya berkata, mereka ni memang orang bodoh". Bahkan, komentar itu seperti mengetahui demonstran yang melakukan hal tersebut, "Semuanya orang yg tak bekerja yg diupah untuk buat kacau".
Tanggapan di atas dikutip untuk menunjukkan bahwa orang Malaysia sudah semakin terbiasa dengan kemarahan orang Indonesia dan sudah paham pokok perkaranya. Mereka juga tidak terlalu dipusingkan dengan berbagai ancaman di tanah air. Mereka juga menganggap semua itu permainan media. Sebuah komentar mengatakan, "...perkara biasa lah media indon sana tuh. Hal kecik camnie pun nak kecoh satu kampung, yg derang (dia orang, Pen) tuh pulak sentiasa menceroboh perairan negara kita selalu dan saban hari takpe lak. Mujurlah kita masih lagi waras dan bersabar, kita tak ikut perangai budak sekolah sana tuh...kedutaan derang kat sini pun kita tak kaco, dan xde demonstrasi murahan".
Jadi, apakah yang hendak dicapai dengan mobilisasi anti-Malaysia? Memang iklim demokrasi memberikan peluang bagi rakyat untuk menjadi aktor dalam politik luar negeri. Mereka dapat menyuarakan kepentingannya dan berhak diperhitungkan dalam perumusan keputusan politik luar negeri. Para pengamat menyebut mereka social factor dalam politik luar negeri. Tetapi, faktor sosial itu di banyak tempat diwakili oleh perwakilan mereka dalam kelompok-kelompok berpengaruh seperti lobi Yahudi yang kuat di Amerika Serikat dan lobi bisnis. Mereka tidak sporadis dan anarkis. Dengan kata lain, mereka mempunyai saluran yang tepat.
Namun, itu agaknya masih jauh. Sebab, kita senang ramai-ramai, marah, dan emosi, lalu reda. Cara itu saja sudah cukup. Pemerintah lalu jadi sibuk. Menlu yang semula merasa sudah cukup melakukan sesuatu seperti mengirim nota protes harus mencari cara lain agar rakyat puas. Semuanya menjadi reaktif. Presiden pun dengan gayanya yang khas lalu tanggap. Dia memanggil Menlu dan menanyakan alasan keterlambatan merespons, seolah-olah ingin mengatakan bahwa si staf lelet. Sementara itu, dia tetap wibawa dan komit menjaga kewibawaannya dan kewibawaan Indonesia dari setiap campur tangan asing.
Kalau itu yang diinginkan, kita akan terus menyaksikan demonstrasi yang berulang-ulang, protes, dan kebencian dalam hubungan dengan Malaysia. Ciri kental jingoisme, premanisme, militerisme, dan kerusuhan sosial pun terus melekat pada bangsa yang sudah merdeka 65 tahun ini. (*)
*) A. Eby Hara, TKI di Malaysia
No comments:
Post a Comment